Pengesahan qanun hukum Jinayah oleh DPR Aceh pada 15 September 2009 lalu menghidupkan kembali perdebatan tentang formalisasi syariat (hukum) Islam. Qanun ini sebenarnya hanya salah satu dari serangkaian upaya formalisasi itu di lokal Aceh yang terjadi sejak keluarnya Undang-Undang (UU) No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Tulisan ini memuat pandangan bahwa upaya formalisasi syariat (hukum) Islam di Aceh memiliki sekurang-kurangnya dua (2) kesesatan berpikir. Pertama, sejak masa lalu dalam sejarah Aceh, nilai-nilai dan syariat Islam selalu merupakan cara hidup dan nilai yang dihayati (a way of life, a living value) yang terutama digerakkan oleh para ulama. Islam telah menjadi nafas hidup yang tidak perlu diformalkan lagi sebagai aturan negara. Formalisasi akan berarti “mematikan” nafas itu dengan mematrinya dalam kitab baku. Sesat pikir kedua terletak pada anggapan bahwa formalisasi syariat Islam adalah inti perjuangan rakyat Aceh selama konflik berkepanjangan sejak Orde Baru hingga dicapainya perdamaian dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005. Syariat Islam dianggap sebagai “konsesi” untuk mempertahankan Aceh. Ini terbukti keliru karena MoU Helsinki, pilar perdamaian Aceh, tidak menuntut formalisasi syariat Islam.
Tulisan ini memuat pandangan bahwa upaya formalisasi syariat (hukum) Islam di Aceh memiliki sekurang-kurangnya dua (2) kesesatan berpikir. Pertama, sejak masa lalu dalam sejarah Aceh, nilai-nilai dan syariat Islam selalu merupakan cara hidup dan nilai yang dihayati (a way of life, a living value) yang terutama digerakkan oleh para ulama. Islam telah menjadi nafas hidup yang tidak perlu diformalkan lagi sebagai aturan negara. Formalisasi akan berarti “mematikan” nafas itu dengan mematrinya dalam kitab baku. Sesat pikir kedua terletak pada anggapan bahwa formalisasi syariat Islam adalah inti perjuangan rakyat Aceh selama konflik berkepanjangan sejak Orde Baru hingga dicapainya perdamaian dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki 2005. Syariat Islam dianggap sebagai “konsesi” untuk mempertahankan Aceh. Ini terbukti keliru karena MoU Helsinki, pilar perdamaian Aceh, tidak menuntut formalisasi syariat Islam.
Acheh
- Acheh adalah sebuah negeri tunggal di Asean yang mengamalkan hukum syariat.
- Acheh adalah negeri didalam negara Indonesia
Kelantan
- Kelantan adalah sebuah negeri tunggal di Asean yang dibenarkan mengamalkan hukum syariat TETAPI tidak mahu laksanakannya.
- Kelantan adalah negeri didalam negara Malaysia.
Persoalan yang MKT hendak timbulkan disini, mengapa Kelantan tidak mahu laksanakannya? Jika PAS Kelantan benar-benar hendak laksanakan Hukum hudud seperti Acheh maka laksanakanlah. Jangan menuding jari kepada orang lain di atas kegagalan sendiri.
No comments:
Post a Comment